Sunday, December 27, 2015

Tugas Bahasa Indonesia : MEMBUAT CERPEN SENDIRI

                                                            Derita GUE
Entah apa yang ada di fikiran mereka ? padahal mereka enak sekali hidupnya. Terjamin negara, fasilitas hidup ada, mobil ada, bahkan kebutuhan peralatan globalisasi pun ada. Rumah mereka layaknya rumah seorang raja yang otoriter, bila memasukinya bak surga dunia. Dari barang murah sampai mahal semuanya pun dibelinya. Tujuan mereka sebenarnya banyak, sampai-sampai ilmu matematika tak dapat menjangkau. Pertama, duduk dulu di kursi yang tak terasa kerasnya kayu yang menopangnya. Kedua, mengembalikan kertas berharga yang telah dibagikannya kepada saudaranya untuk suatu suara hati. Ketiga, mungkin mengimport kekayaannya dengan berbagai cara. Cara orang-orang tengik, dan masih banyak lagi di sela-selanya
Umurku belum genap 17 tahun, mungkin tinggal beberapa minggu lagi genapnya. Tapi dalam hatiku kadang risau dengan pemikiranku tadi. Apakah pantas membicarakan politik ? sedangkan usiaku masih dibilang belum cukup. Namun, aku berfikiran lain.
“masa berpendapat tentang politik saja harus diatas 17 tahun. Lu kira tontonan orang dewasa yang ada peraturannya.”
Pertimbangan tersebut yang membuat ku sampai saat ini belum berani menggagaskan pendapat tersebut.
Sekarang ini aku menimba ilmu di sekolah yang cukup favorit di kabupaten, bahkan Indonesia. Ya, sekolahku memang menerapkan sebuah sistem dimana siswa yang berperan dalam pembelajaran. Mencari sumber sendiri, siswa mampu memecahkan masalah dengan diskusi, selalu bertanya. Mungkin, orang yang EQnya tinggi menyatakan pendapatnya yang sangat bertentangan dengan sistem tadi
Pertama “ siswa mencari sumber pembelajaran sendiri, namun ada pepatah ilmu tanpa teori buta..ilmu tanpa pendamping katarak.”. Kedua “lah.. orang diskusi hanya ngrumpi, menyelesaikan masalahnya dengan pacar.”. Ketiga “selalu bertanya iya bagus, tapi banyak bertanya malu-maluin keleeuus!” bentak orang-orang jenius tadi bila dalam tensi tinggi. Mungkin karena kesal atas kehidupannya.
Bisa dikatakan saya sekolah setingkat SMA, menurut saya apalah gunanya sekolah setinggi-tingginya, hingga harus punya rumah ukuran kecil untuk yang  dipungut pajak setiap bulannya. Padahal dari sekolah dasar tidak ada kemajuan prestasi  malah menurun  dari SMP. Yang mungkin karena pergi gelap pulang gelap, ya.. kebanyakan kegiatan di sekolah, ada motto saya “sekolahku rumahku”. Jujur sekolah hal dunia lebih berbobot dari pada sekolah dalam hal akhirat. Sholat selalu lima waktu, masalahnya mengaji sering bolong. Al-qur’an kan panduan untuk hidup di jalan yang lurus, tapi sejak sekolah dengan sistem tadi saya lebih sering membaca buku dalam hal dunia saja. Tapi untung skolahku mengadakan ngaji bareng sebelum pelajaran dimulai. Bukannya saya menyalahkan pihak sekolah, tapi mereka-merekalah yang memproduksi sistem ini, yang menyamakan siswa dengan karyawan kantor. Dari segi fisik dan psikolog beda. Siswa yang dalam masa pertubuhan harus memanggul tas seberat sekarung beras bulog dari jam 7 sampai 3.45 sore. Masih jernihkah fikiran mereka-mereka yang menciptakan sistem ini di sekolah tingkat SMA, yang baru lima sekolah di kabupaten Tegal yang baru menerapkannya.
“Wan, pulang yuk, sudah sore nih” “ayo, cepat.. cepat keburu ga dapet bis”jawabnya. Memang gampang gampang susah untuk pulang menggunakan bis ukuran kecil sampai besar untuk perjalanan sejauh 25 km. Kadang bis kecil atau orang menyebutnya elp, menurunkan penumpang tidak sampai tujuan. “ya .. turun turun turun dah habis”alasan kondektur. Susahnya saya harus menghafal bis dengan jurusan yang mampu berjalan sejauh 25 km. Kadang bis besar yang pasti mampu menempuh 25 km, namun harus menunggu 15 menit di terminal. Bisnya sih bagus bagus nggak jelek jelek sih nggak, susah menjelaskannya. Saat karyawan dan anak sekolah pulang, bis dengan kondektur tak beretika, selayaknya dikatakan mobil yang membawa ayam dalam kandang. Manusia seperti ayam saat itu,  semuanya kaya ayam yang saling bergelombolan, tidak memeperhatikan kodrat sebagai manusia dan juga wanita.” Waah.... dalam bis kok ada barisan orang-orang yang kurang beruntung mendapatkan kursi duduk.... kasihan”di benakku saat aku duduk nyaman di deretan kursi bis. Iswan, kawan saya yang selama dua tahun ini bersama saya, hanya bisa menggeleng-geleng panorama dalam bis di depan matanya.
Saya bertanya kepada Iswan”Wan, kapan sih di Indonesia memiliki transportasi umum seperti di Jepang ?” “tak usah jauh-jauh, seperti Malaysia saja kalau aspal jalan tidak terus bolong.”sautnya “betul.. betul..betul”saya menyambung.
Yang sangat memebuat  saya merah sama bis bis gadungan itu, kalau supir dan kondekturnya pagi-pagi nongkrong di warung makan. Sebelumnya saya berangkat dari rumah lebih pagi dari biasanya, namun karena ulah sopir dan temannya itu mengharuskan saya duduk di kursi bis selama 15 menit. Jadi sebenarnya bukan salah siswa yang datang terlambat. Seorang gurulah yang tidak mengerti perjuangan mereka dari mengangkat kaki dari teras rumahnya sampai melangkah kaki ke depan gerbang sekolahnya.
Beda dengan anak sekolah lain. Kalau maghrib saya pulang sekolah, tapi teman saya pulang main sepak bola. Mandi pun kadang tak kesampaian, “ ya sudahlah sholat langsung belajar”. Saat belajar banyak berita di televisi  yang terdengar di ruang tamu, sangkin kerasnya volume tv tersebut, bahwa politikus rata-rata melakukan pesugihan ngepet tikus, itu bahasa kerennya melakukan korupsi. Ada lagi para wakil rakyat melakukan rapat, rapatnya hanya main selfi, main game online dalam gadgetnya. “wah kurang apalagi sih mereka , orang hidup sudah enak..!” singgung saya. Sebenarnya dalam masyarakat saya prihatin dengan keadaan negara ini. Ada kasus orang mencuri ayam dikenai denda  5 juta, padahal satu ayam hanya seratu hingga dua ratus ribu. Dibidang hukum pun ana penggelapan uang. “Wakil rakyat yang harusnya dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Sekarang wakil rakyat dari dari kalangan pejabat, untuk dirinya , oleh dirinya.” orang yang di percaya banyak orang dalam menata tatanan negara kini hanya menghadap ke atas, tidak menolehnya ke bawah. Itulah santapan fenomena di Indonesia tercinta ini.
Dalam hati saya terdapat sepercik api yang membara, mengharapkan seluruh bangsa yang bersatu bertemu wakil-wakil tengik dan bermusyawarah bersama untuk menambal lubang-lubang ketatanan politik ekonomi dan negara. Agar tidak ada lagi sistem rodi untuk anak sekolah, tidak ada ayam dalam bis-bis gadungan,  serta tidak ada lagi pesugihan ngepet tikus oleh yag berdasi di sana. Amiiin ...
Agar tidak ada lagi siswa yang di pekerjakan seperti rodi yang selalu mencari materi sendiri, mencari permasalahan sendiri, semuanya serba sendiri. Agar tidak ada lagi ayam gerobolan di dalam bis-bis gadungan, agar tidak ada pencuri ayam lagi serta agar tidak ada lagi pesugihan ngepet tikus oleh orang yang berdasi. Tapi semuanya kembali kepada kita, karena kita hidup tidak sendirian. Ada  orang lain yang mungkin berbeda asumsi di sekitar kita.
“nggak apa-apa lah saya rela berdesak-desakan di ranjang bis ini asal, semua orang mendapatkan kenyamanan.....”

No comments: